“Strategi Hidup atau Ancaman Kedaulatan? Dilema Kewarganegaraan Ganda di Sebatik”

Sebatik, Kalimantan Utara – Pulau Sebatik kembali menjadi sorotan lantaran maraknya praktik kewarganegaraan ganda. Bagi sebagian warga, memiliki dua identitas bukan sekadar pilihan, melainkan strategi bertahan hidup. Namun, fenomena ini mengusik kedaulatan dan menantang pemerintah menjaga identitas nasional.

Akses kerja yang lebih luas, gaji tinggi, dan harga kebutuhan pokok yang stabil di Malaysia membuat banyak warga perbatasan tergoda memegang dokumen negeri jiran. “Jangan heran kalau banyak warga memilih identitas Malaysia. Sulit menyalahkan mereka, karena di sini memang tak ada pilihan lain,” ujar Anggota DPRD Nunukan, Andi Mulyono, dalam Focus Group Discussion (FGD) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Nunukan di BPU Sungai Nyamuk, Kamis (25/9/25).

Andi mengungkap, sulit menelusuri kasus kewarganegaraan ganda karena data Indonesia dan Malaysia belum terintegrasi. Ia mencontohkan pertemuannya dengan teman lama di Tawau, Sabah.

“Teman dari suku Bugis itu minta bantuan membuat KTP Indonesia. Alasannya, kalau ada masalah di Tawau bisa lari ke Indonesia, dan sebaliknya,” jelasnya.

Cerita menjadi personal saat Andi menyinggung adiknya, Andi Mulyama, yang lahir di Tawau dan pernah memiliki identitas Malaysia. Meski sempat mendapat jatah tanah dari pemerintah setempat, sang adik akhirnya memilih tetap menjadi Warga Negara Indonesia.

Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Nunukan, Agustinus Palantek, menegaskan, status kewarganegaraan hanya diukur dari KTP dan Kartu Keluarga dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). “Soal siapa punya IC (kartu identitas Malaysia) selain KTP Indonesia, kami tidak punya data. Kami hanya memproses sesuai berkas yang masuk,” tegasnya. Ia menambahkan, proses penerbitan dokumen mengacu pada pengantar dari aparat desa, RT, lurah, dan camat.

Kasubsi Lalu Lintas Keimigrasian Kantor Imigrasi Nunukan, Zulfan Adrian Pratama, menambahkan Indonesia melarang tegas kewarganegaraan ganda. “Jika seseorang terbukti memiliki dua kewarganegaraan, salah satunya harus gugur. Kalau dia WNA, kami wajib mendeportasi. Kalau WNI, ya tidak ada masalah,” jelasnya.

Adrian menekankan verifikasi Imigrasi dilakukan ketat, termasuk konfirmasi ke Konsulat Malaysia. Ia menyinggung kasus besar saat pandemi, ketika seorang calon bupati di Kaltara diduga memiliki dua kewarganegaraan. “Itu bukti komitmen kami menjaga kedaulatan,” ujarnya.

Pengamat menilai, masalah ini tidak akan tuntas tanpa perbaikan ekonomi. Pemerintah pusat diminta memperkuat infrastruktur logistik dan menstabilkan harga kebutuhan pokok di Sebatik, sementara Pemerintah Kabupaten Nunukan perlu menutup celah hukum serta gencar memberi edukasi tentang risiko kewarganegaraan ganda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *